TEMPO.CO, Jakarta- Penelitian di situs-situs arkeologi di Kawasan Danau Sentani, Situs Fromadi, Sarmi maupun Situs Momorikotey di Pulau Kapotar, Kepulauan Moora, Nabire, Papua berhasil menemukan gigi babi. Gigi babi ditemukan di permukaan tanah maupun dalam ekskavasi.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Papua Hari Suroto menjelaskan bahwa kehadiran manusia pertama kali di Papua sekitar 50.000 tahun lalu, tapi hewan mamalia yang diintroduksi baru tiba belakangan. "Kontroversi masih tetap ada perihal waktu kedatangan babi pertama, suatu unsur integral dalam banyak budaya lokal. Babi di Papua saat ini dikenal sebagai jenis Sus Scrofa Papuensis," ujar dia kepada Tempo, Selasa, 17 Desember 2019.
Babi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya di daerah dataran tinggi Papua. Namun, sampai hari ini masih saja terjadi persilangan pendapat antar para ahli mengenai kapan pertama kali babi masuk di Papua. Waktu yang diajukan sebagai saat pertama kali masuknya babi ke Papua sekitar 10.000 tahun lalu, bukti lain mengajukan 6.000 tahun lalu, tapi belum bisa dipastikan secara definitif.
Jenis babi yang kini sudah indigenous atau asli kemungkinan persilangan antara babi hutan biasa, Sus scrofa dan yang datang atau diintroduksi dari Sulawesi yakni babi hutan Sulawesi, Sus celebensis, yang dahulunya merupakan jenis endemik Sulawesi. Babi-babi ini dipelihara, hingga kini masih menjadi simbol status dan sumber kemewahan atau kekayaan untuk semua daerah di pedalaman dataran tinggi.
Meski ditemukan tulang babi dari zaman pra-Austronesia di beberapa situs arkeologi di Papua Nugini, belum mendapat pengakuan internasional tentang keabsahannya. "Walau hasil temuan itu belum sepenuhnya diakui, namun berbagai pihak setidaknya sepakat bahwa babi di Papua diperkirakan terbagi atas dua fase," kata Hari.
Fase pertama terjadi sekitar 6.000 tahun lalu, artinya sebelum orang Austronesia. Fase kedua adalah masa masuknya babi dan penyebarannya secara besar-besaran sebagai hewan hasil domestikasi (hewan yang sudah dijinakkan).
Kemungkinan besar hal ini terjadi ketika ada babi-babi liar yang berhasil melintasi lautan dan sampai di Papua. Atau, bisa juga babi-babi ini dibawa oleh imigran yang tiba di Pulau Papua sesudah kedatangan orang Papua, tapi sebelum kedatangan orang Austronesia.
Atau ada kemungkinan juga bahwa babi-babi itu dibawa masuk oleh orang Papua sendiri dalam kurun waktu yang relatif belum terlalu lama. Dan barangkali ada orang Papua yang mengadakan migrasi kembali ke tiga wilayah di Indonesia: Halmahera, Alor dan Timor, saat kembali ke Papua, mereka membawa babi-babi dari ketiga tempat ini bersama mereka.
"Dengan berbagai kemungkinan itu, tetap saja belum ada satu jawaban yang benar-benar diterima dan dianggap sebagai jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan kapan babi pertama kali masuk di Papua," tutur Hari. "Terlepas dari semua itu, semua data penelitian ilmiah tentang masuknya babi di Papua selalu mengindikasikan waktu di atas 4.000 tahun yang lalu."
Dengan kata lain, tak ada data ilmiah tentang keberadaan babi di Papua sebelum 4.000 tahun yang lalu. Walaupun belum ada waktu pasti tentang kapan pertama kali babi masuk ke dataran tinggi Papua, tetap bisa dipastikan bahwa babi (bersama anjing dan ayam) dibawa masuk ke Papua oleh penutur Austronesia pada 1500 hingga 1000 SM.
Babi, Hari melanjutkan, di berbagai tempat di Papua tidak hanya sekadar sebagai sumber pendapatan belaka. Tapi juga menjadi simbol status kekayaan. "Babi digunakan dalam acara tukar daging babi dan dagingnya selalu menjadi menu utama dalam setiap acara pesta jamuan yang mereka adakan," kata dia.
Selain sebagai sumber protein, babi di Papua juga bagian dari ritual. Babi peliharaan telah dan tetap menjadi simbol prinsip nyata akan kemakmuran material di wilayah pegunungan Papua. Pembantaian sejumlah besar babi masih merupakan bagian penting dalam ritual setempat, sebagai tolak ukur kemakmuran sosial dan ekonomi.
Tradisi menyantap babi telah menjadi ikatan sosial dan religi bagi penduduk Papua secara luas. Pembagian daging babi yang sudah dimasak menentukan besarnya nilai pentingnya tradisi mereka dalam melaksanakan ikatan antara klan. Sepanjang perayaan, masyarakat Papua di dataran tinggi akan mengkonsumsi daging babi.
"Dalam tradisi masyarakat pegunungan Papua, babi menjadi simbol kekayaan, bahkan lambang kekuasaan. Babi merupakan prasyarat utama dalam setiap pesta kawin maupun pesta jamuan. Untuk pesta kawin, babi termasuk mas kawin yang sangat penting nilainya," katanya.
Sedang, dalam jamuan, daging babi dibagi-bagikan sebagai simbol persaudaraan dan persekutuan. Memasak babi serta memerciki para tamu dengan darah babi sebagai tanda persahabatan.
Suku Dani tidak makan daging babi setiap hari. Orang Dani jarang memotong babi hanya dengan tujuan ingin makan dagingnya. Memotong dan memakan babi selalu terikat pada peristiwa sosial yang penting, seperti upacara pembakaran mayat, perkawinan, dan upacara inisiasi.
Di wilayah dataran tinggi, jumlah babi yang dipotong menjadi tolok ukur tentang seberapa penting orang yang meninggal. Semakin banyak babi yang dipelihara, semakin tinggi pula gengsi serta nilai kekayaan pemiliknya. "Sebagian dari kekayaan ini biasanya digunakan untuk memperbanyak jumlah istri sebagai tanda meningkatnya poligami termasuk peningkatan status dan pengaruh politik," tuturnya.
"Tentang" - Google Berita
December 19, 2019 at 05:03AM
https://ift.tt/2S7WxSE
Arkeolog Belum Satu Kata tentang Asal-Usul Babi di Papua - Tempo.co
"Tentang" - Google Berita
https://ift.tt/2pFrqlx
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Arkeolog Belum Satu Kata tentang Asal-Usul Babi di Papua - Tempo.co"
Post a Comment