Search

Cerita tentang Profesor Retno Saraswati, Perkembangan Teknologi dan Daulat Presiden - hukumonline.com

Revolusi industri 4.0 telah mengubah banyak hal, membawa angin disrupsi yang begitu cepat. Clayton Christensen telah membuka mata banyak kalangan pada era disrupsi. Disrupsi, kata Christensen, menggantikan ‘pasar lama’, industri, dan teknologi, dan menghasilkan suatu kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Disrupsi itu bersifat destrktif sekaligus kreatif.

Dunia hukum termasuk yang terkena tiupan angin disrupsi. Era teknologi informasi memasuki dunia hukum seperti yang kini dikembangkan Mahkamah Agung melalui e-court dan e-litigation. Birokrasi pemerintahan yang membidangi hukum pun tidak dapat menghindarkan diri, sebagaimana diakui Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly lewat bukunya ‘Birokrasi Digital’ (2019).

Perkembangan teknologi dan informasi juga bertiup begitu cepat ke dunia pendidikan. Mau tidak mau, pendidikan hukum di Tanah Air harus banyak menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Konsep-konsep hukum tentang perjanjian, jual beli, sewa menyewa, hubungan ketenagakerjaan, dan modus tindak pidana berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi tantangan bagi civitas akademika.

Persiapan dan kesiapan bukan hanya harus datang dari mahasiswa, tetapi juga pengelola perguruan tinggi hukum. Dalam perbincangan hukumonline dengan Profesor Retno Saraswati, terungkap bagaimana pengelola pendidikan mengantisipasi dampak perkembangan teknologi itu ke dalam pendidikan hukum. Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang itu menegaskan pendidikan hukum di Indonesia harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Pengelola perguruan tinggi hukum negeri, misalnya, kerap melakukan pertemuan dengan pengguna lulusa Fakultas Hukum seperti perusahaan, firma hukum, dan kalangan birokrasi di lembaga-lembaga hukum.

Pertemuan antar pengelola Fakultas Hukum perguruan tinggi negeri belum lama ini juga telah membahas integrasi dunia digital dengan kurikulum Fakultas Hukum.  “Pengguna itu kita mintai pendapat kira-kira lulusan kita itu yang dibutuhkan seperti apa. Itulah yang nanti akan kita desain di dalam kurikulum,” ujarnya kepada hukumonline.

Ini pula yang terus dikembangkan setelah Prof. Retno memimpin FH Undip, Semarang, sejak 2018 lalu. Integrasi era digital, kata sang Guru Besar Hukum Tata Negara itu, tidak hanya berkaitan dengan sistem pendidikan, tetapi juga substansi hukum. “Substansi hukumnya jadi bahasan menarik bagi para mahasiswa. Misalkan alat bukti elektronik, atau putusan elektronik,” terangnya.

Pengalaman sebagai orang yang berkecimpung dalam pendidikan hukum selama puluhan tahun memudahkan Prof. Retno mengintegrasikan era digital ke lingkungan kampus. Ia lulus dari Fakultas Hukum Undip pada 1992. Di kampus yang sama, ia menamatkan magister (2001) dan doktor ilmu hukum (2011). Sebelum diangkat menjadi Dekan FH Undip, akademisi kelahiran Kendal 19 November 1967 ini sudah memegang sejumlah jabatan di kampus seperti Ketua Program Magister Ilmu Hukum (2013-2015), dan Pembantu Dekan I (2015-2018).

Daulat Presiden dan Realitas Ketatanegaraan

Retno Saraswati menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro pada 23 April 2016. Pidatonya berjudul ‘Daulat Presiden dalam Kabinet Presidensial’ masih relevan hingga kini.

Diuraikan Prof. Retno, UUD 1945 secara eksplisit telah menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan presidensial yang diamanatkan konstitusi ternyata mengharuskan tata ulang sistem ketatanegaraan agar lebih efektif dan stabil. Urgensi tata ulang itu karena melihat realitas yang terjadi terutama dalam hubungan antara Presiden dan anggota kabinet atau menteri. Menteri-menteri adalah adalah pembantu presiden.

Realitasnya, sering terjadi kebijakan menteri tidak sinkron dengan kebijakan Presiden. Misalnya, seorang menteri menyebutkan bahwa akan kebijakan dana ketahanan energi nasional, dengan cara memungut Rp200 dari premium dan Rp300 dari solar yang disubsidi pemerintah. Padahal Presiden tidak mengambil kebijakan demikian. Perbedaan ini seharusnya tidak perlu terjadi jika dimatangkan lebih dahulu di internal pemerintah sebelum diungkapkan ke publik. Acapkali terjadi pernyataan menteri tidak sinkron dengan pernyataan presiden. Ini menunjukkan kurangnya koordinasi presiden dengan para pembantunya.

Ada juga masalah ketidakdisiplinan menteri. Misalnya ada menteri yang mengganti nomenklatur kementerian dan strukturnya tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Belum lagi kegaduhan yang muncul akibat perbedaan pernyataan dan kebijakan antarmenteri anggota kabinet presidensial. Menurut Prof. Retno, jika perspektifnya adalah nilai manfaat yang lebih bagi bangsa dan negara, mestinya seluruh anggota kabinet Presidensial saling mengisi, melengkapi atau menyempurnakan nilai manfaat itu, dan bukan saling serang.

Para menteri juga seharusnya ikut menopang kebijakan presiden. Presiden mengatakan bahwa kompensasi atas tanah warga yang digunakan untuk kepentingan umum adalah ganti untung bukan ganti rugi. Faktanya, ada menteri yang menerbitkan peraturan mengenai kompensasi atas tanah dan bangunan di bawah ruang SUTT dan SUTET yang perhitungannya menimbulkan kerugian dan ketidakadilan bagi warga masyarakat.

Realitas lain, kabinet yang terbentuk lebih sebagai kabinet transaksional atau koalisi. Ketika hendak membentuk pemerintahan, Presiden secara politik mengakomodasi usulan-usulan menteri dari partai politik. Presiden ingin menjaga hubungan baik dengan parlemen dan partai politik. Akibatnya, hak prerogatif presiden tidak leluasa digunakan.

Sinergi antara presiden dan menteri merupakan indikator keberhasilan sebuah kabinet dan kelangsungan jabatan presiden. Akibat dari ini semua menjadikan penyelenggaraan pemerintahan kurang efektif, terjadi ketidaksinkronan dan wibawa presiden sebagai kepala pemerintahan menjadi lemah, bahkan daulat (kekuasaan tertinggi) Presiden tereduksi dalam kabinet presidensial. Tentu ini semua tidak seharusnya terjadi dalam sistem presidensial, dimana kedudukan presiden cukup kuat, dengan dukungan adanya hak prerogatif. Bahkan DPR atau parlemen melalui partai politiknya sudah mulai ada intervensi, padahal intervensi ini biasanya hanya  terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer. Dampak kisruh politik tentu akan berimbas kepada kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Menurut Prof. Retno, jika keadaan demikian terus dibiarkan, Pemerintahan Indonesia tidak dapat berjalan efektif. Yang terjadi adalah kegaduhan-kegaduhan politik, terutama saat pembentukan kabinet. Sulit bagi Pemerintah menjalankan fungsinya jika sering terjadi tarik ulur kepentingan, saling ego dalam mengutamakan kepentingan pribadi atau partainya, dan banyak energi yang terbuang untuk menyelesaikan  kegaduhan-kegaduhan di internal kabinet. Misi pemerintahan untuk mencapai tujuan menyejahterakan masyarakat akan semakin jauh dari kenyataan. “Dalam sistem pemerintahan presidensial, peran Presiden sangatlah penting, karena selaku individu sebagai penanggungjawab atas keberhasilan atau kegagalan pemerintahan,” paparnya.

Indonesia mengadopsi sistem pemerintahan presidensial sejak Indonesia merdeka, bahkan setelah konstitusi diamandemen, presidensialisme Indonesia sudah lebih dimurnikan lagi, ditandai dengan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Namun perlu kita pahami bersama bahwa para pendiri bangsa (Founding Fathers) memilih sistem presidensial tentu dengan berbagai pertimbangan demi kepentingan bangsa Indonesia.

Ada beberapa alasan di Indonesia menggunakan sistem Presidensial  oleh para pendiri bangsa (Founding Fathers): menjaga stabilitas pemerintahan; memperkuat posisi dan dominasi presiden yang ditegaskan dalam UUD 1945; negara yang baru merdeka tidak cukup pengetahuan pengalaman; dan adanya pengaruh ketokohan Soekarno dan Moh. Hatta.

Sistem presidensial mendapatkan penegasan kembali yakni dalam kesepakatan dasar MPR tentang arah perubahan UUD 1945 untuk mempertahankan sistem pemerintahan presidensial, namun tidak ada penegasan secara resmi dalam konstitusi, akan tetapi ciri-ciri sistem presidensial dapat kita temukan dalam UUD 1945. Pelaksanaan sistem presidensial sebagaimana amanat UUD 1945 pada kenyataannya banyak sekali dipengaruhi faktor-faktor non-hukum, seperti politik. Dinamika pelaksanaan sistem presidensial dapat dilihat dari pratik pada awal kemerdekaan sampai sekarang.

Prof. Retno berpendapat masih ada sejumlah hal yang harus diperbaiki dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ke depan. “Bagaimana sistem pemilu, pilkada, peraturan perundang-undangan, kemudian lembaga negara ini juga harus dievaluasi,” ujarnya.

Terkait yang terjadi sekarang bagaimana program perencanaan pembangunan yang banyak disorot mengenai haluan negara kemarin jadi mencuat. Bagaimanapun pembangunan butuh perencanaan dan kelanjutan, jadi tidak parsial tapi itu ada keberlanjutan. Masa presiden sekarang dengan yang dulu ada sambung-menyambung tidak terputus. Misalnya di bidang pendidikan, di bidang hukum, itu kan harus ada kesinambungan. “Mana yang baik kita lanjutkan, mana yang jelek kita perbaiki. Saya kira kita selama masih hidup selalu mencari yang terbaik, dan terus akan berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat,” jelasnya kepada hukumonline.

Let's block ads! (Why?)



"Tentang" - Google Berita
December 31, 2019 at 05:11PM
https://ift.tt/39whyN1

Cerita tentang Profesor Retno Saraswati, Perkembangan Teknologi dan Daulat Presiden - hukumonline.com
"Tentang" - Google Berita
https://ift.tt/2pFrqlx
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Cerita tentang Profesor Retno Saraswati, Perkembangan Teknologi dan Daulat Presiden - hukumonline.com"

Post a Comment

Powered by Blogger.