Setiap warga negara yang berhadapan dengan hukum berhak untuk mendapatkan bantuan hukum. Bantuan hukum dapat diperoleh melalui pengacara profesional, yakni memberikan kuasa kepada advokat dengan memberikan honorarium. Jika ada warga yang tak sanggup membayar, apalagi masuk kategori warga miskin, berhak mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma dari advokat atau memanfaatkan program bantuan hukum yang disediakan Pemerintah. Warga miskin mendapatkan bantuan advokasi dari organisasi Pemberi Bantuan Hukum (PBH) yang telah terakreditasi.
Terlepas dari bagaimana cara mendapatkan bantuan hukum, peraturan perundang-undangan telah mengakomodasi hak warga negara atas bantuan hukum. Pasal 54 KUHAP menyatakan tersangka atau terdakwa berhak memperoleh bantuan hukum dan penasihat hukum untuk setiap tingkat pemeriksaan. Selain hak mendapatkan bantuan hukum, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri siapa penasihat hukumnya. Akses terhadap bantuan itu diperkuat pula kewajiban probono advokat yang diamanatkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan penyediaan anggaran bantuan hukum oleh negara sebagaimana disinggung dalam UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
(Baca juga: Menunggu Miranda Rules di Ruang Penyidikan).
Dukungan terhadap hak bantuan hukum itu juga datang dari lingkungan peradilan, sebagai pilar pemberian bantuan hukum pro deo. Meskipun acapkali hakim mengabaikan keberatan atau klaim terdakwa tidak disediakan pengacara, toh Mahkamah Agung juga berkali-kali memutuskan sebaliknya. Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa hak tersangka atas bantuan hukum harus dipenuhi sejak masa penyidikan.
Di Kejaksaan Agung, dorongan untuk menyediakan penasihat hukum pada setiap tahap pemeriksaan terangkum dalam Surat Edaran Jaksa Agung No. B-570/F/Fpk.1/9/1994 tanggal 30 September 1994. SE yang diteken Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, A. Soetomo, itu pada intinya mengharuskan jaksa penyidik tindak pidana khusus memeriksa tersangka yang diancam hukuman mati, hukuman seumur hidup, dan hukuman penjara lebih dari 15 tahun setelah terdakwa mendapatkan penasihat hukum. Surat Edaran ini diterbitkan setelah munculnya kasus-kasus terutama putusan MA No. 1565K/Pid/1991.
Beberapa putusan Mahkamah Agung berikut berkaitan langsung dengan pemberian bantuan hukum dan memperlihatkan dinamika pertimbangan hakim. Dalam putusan Mahkamah Agung No. 101PK/Pid/2010, misalnya, majelis tidak mempertimbangkan sama sekali secara khusus argumentasi pemohon PK mengenai tidak adanya pendampingan oleh penasihat hukum sejak penyidikan hingga pemeriksaan sidang (pledoi). Terdakwa mengaku sebagai buruh tani, tidak lulus SD, tidak mengerti hukum, sehingga merasa dijadikan ‘objek’ aparat penegak hukum. Ia baru dibantu penasihat hukum pada tahap pledoi. Majelis PK berpendapat tidak ada kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Terdakwa hanya melakukan penyangkalan terhadap dakwaan penuntut umum, dan faktanya tidak mengajukan memori kasasi. Argumentasi tentang ketiadaan penasihat hukum juga didalilkan terdakwa dalam putusan perkara No. 1329K/Pid.Sus/2010, namun tidak dipertimbangkan secara khusus oleh majelis hakim kasasi.
Beberapa putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa surat dakwaan yang disusun berdasarkan hasil pemeriksaan terdakwa yang tidak didampingi penasihat hukum berakibat pada batal atau cacatnya surat dakwaan tersebut.
- Putusan MA No. 1565K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993
Kaidah hukum yang termuat dalam pertimbangan majelis hakim perkara korupsi ini adalah: “Apabila syarat-syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, maka tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima”.
- Putusan MA No. 367K/Pid/1998 tanggal 29 Mei 1998
Kaidah hukumnya: “Bila tidak didampingi penasihat hukum di tingkat penyidikan maka bertentangan dengan Pasal 56 KUHAP, hingga BAP penyidikan dan penuntutan oleh penuntut umum batal demi hukum dan karenanya tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima walaupun pemeriksaan di sidang pengadilan di damping penasihat hukum”.
- Putusan MA No. 545K/Pid.Sus/2011
Kaidah hukumnya: “Selama pemeriksaan terdakwa tidak didampingi oleh penasihat hukum, sedangkan Berita Acara Penggeledahan dan Pernyataan tanggal 15 Desember 2009 ternyata telah dibuat oleh pejabat yang tidak melakukan tindakan tersebut namun oleh petugas yang lain. Dengan demikian Berita Acara Pemeriksaan terdakwa dan berita acara penggeledahan tidak sah dan cacat hukum sehingga dakwaan jaksa yang dibuat atas dasar Berita Acara tersebut menjadi tidak sah dan cacat hukum pula”.
- Putusan MA No. 936K/Pid.Sus/2012
Kaidah hukumnya:“Proses penyidikan tidak dilakukan secara benar menurut hukum acara, karena terdakwa tidak didampingi penasihat hukum, padahal terdakwa diancam pidana di atas lima tahun”. Permohonan kasasi terdakwa Arief Haryanto dikabulkan majelis, dan akhirnya membebaskan terdakwa.
- Putusan MA No. 2588/Pid.Sus/2010
Terdakwa Frengki dan Yusliadi dibebaskan sejak tingkat pertama sampai kasasi. Mahkamah Agung mengkritik praktik yang kerap digunakan kepolisian untuk menyiasati hak tersangka atas bantuan hukum. Hak tersangka atas bantuan hukum dinyatakan tidak terpenuhi jika penasihat hukum hanya diminta menandatangani BAP. Kaidah hukumnya: “Terdakwa telah mencabut semua keterangannya dalam BAP karena berdasarkan atas tekanan/paksaan dari pihak penyidik Polri dan saksi verbalisan tidak dapat dihadirkan JPU untuk menguji bantahan terdakwa. Selama pemeriksaan dari penyidik, kepada terdakwa tidak ada penasihat hukum yang mendampinginya. Penasihat hukum juga menyatakan tidak pernah mendampingi terdakwa dalam pemeriksaan di penyidik. Penasihat hukum hanya menandatangani BAP setelah siap atas permintaan penyidik”.
- Putusan MA No. 650K/Pid.Sus/2011 tanggal 5 April 2011
Terdakwa dalam kasus ini, M. Imam Mubarokh mengajukan kasasi dengan menggunakan tiadanya penasihat hukum sebagai salah satu alasan kasasi. Penyidik meminta tesangka menandatangani pernyataan tidak ingin didampingi penasihat hukum. Kaidah hukumnya: “Tidak disediakannya penasihat hukum tergantung ketersediaan advokat sebagaimana penjelasan Pasal 56 ayat (1) KUHAP”.
- Putusan No. 2026/K/Pid/2011
Terdakwa Hartono alias Toni bin Umar diancam hukuman mati dalam kasus pembunuhan. “Ada penekanan dan penyiksaan terhadap terdakwa; terdakwa dipukuli sehingga tulang kakinya patah. Lagipula terdakwa tidak didampingi oleh penasihat hukum selama dalam proses penyidikan padahal terdakwa diancam hukuman mati, dan sesuai Pasal 56 ayat (1) KUHAP terdakwa wajib didampingi penasihat hukum”.
(Baca juga: Wrongful Conviction, Masalah dalam Penegakan Hukum Pidana).
- Putusan MA No. 241K/Pid.Sus/2017 tanggal 21 Juni 2017.
Dalam perkara ini, pemohon kasasi (Sandy Trio Wicaksono) mengajukan argumentasi mengenai tidak dipenuhinya penasihat hukum. Kaidah hukumnya: “Alasan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/terdakwa yang mengemukakan bahwa putusan judex facti haruslah dinyatakan batal demi hukum dengan alasan bahwa sejak terdakwa diperiksa dalam pemeriksaan penyidik tidak didampingi oleh penasihat hukum bertentangan dengan Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Alasan yang demikian tidak dapat dibenarkan karena ternyata pada saat terdakwa diperiksa di hadapan penyidik kepada terdakwa telah dijelaskan tentang hak-haknya sebagai terdakwa dengan menanyakan apakah akan didampingi penasihat hukum, akan tetapi terdakwa menyatakan bahwa terdakwa tidak berkehendak untuk didampingi oleh penasihat hukum dan akan menghadapi sendiri perkara a quo”.
"Tentang" - Google Berita
March 02, 2020 at 10:37AM
https://ift.tt/32FaLOa
Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang Penyediaan Penasihat Hukum - hukumonline.com
"Tentang" - Google Berita
https://ift.tt/2pFrqlx
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang Penyediaan Penasihat Hukum - hukumonline.com"
Post a Comment