Ketika pandemi Covid-19 semakin cepat menyebar, semakin takut pula orang dengan virus korona baru (SARS-CoV-2) penyebab penyakit itu, apalagi belum ada pula vaksin ataupun obatnya.
Ketakutan makin berlipat ganda lagi gara-gara banyak kabar, informasi, berita hoaks, bohong, palsu yang beredar melalui media sosial. Orang pun tanpa pikir, tanpa verifikasi, atau konfirmasi terlebih dahulu melalui jejaring chat apa saja langsung menyebarkannya.
Hal yang tidak pernah dipikirkan orang adalah informasi yang disebar tanpa pikir dulu itu bisa berakibat fatal, sakit, bahkan berujung kematian. Belakangan ini banyak beredar klaim-klaim obat yang bisa mencegah dan mengobati orang dari Covid-19.
Sampai sejauh ini atau setidaknya hingga Minggu (29/3/2020), kantor berita Perancis, AFP, telah menghitung setidaknya beredar 200 rumor dan mitos terkait Covid-19. Perusahaan-perusahaan teknologi didesak untuk bertindak lebih tegas menghentikan misinformasi sehingga tidak menyebar.
Baca juga: ”Quarantine Shaming”? Tetaplah Santun
Guru Besar Ilmu Otak dan Kognitif di MIT Sloan School of Management David Rand menjelaskan, bias seseorang terhadap konten yang dia pikir akan disukai dan dibagikan ke banyak orang. Ini biasanya mendominasi pengambilan keputusan saat dalam jaringan (daring).
”Masih ada yang putus antara apa yang dipikir benar dan apa yang orang mau sebarkan,” ujarnya.
Salah satu alasannya adalah algoritma media sosial diarahkan untuk menarik kebiasaan dan minat seseorang dengan penekanan pada hal-hal yang disukai saja, bukan akurasi. Untuk mengubah itu, media sosial, seperti Facebook dan Twitter, harus mengubah apa yang dilihat orang di layar.
Perlu ada upaya, kata Rand yang meneliti misinformasi terkait Covid-19, mendesak orang untuk mau terlebih dahulu mempertimbangkan keakuratan konten yang mereka sebarkan di jejaring sosial.
Dalam studi yang dilakukan Rand terhadap 1.600 partisipan diketahui bahwa konten klaim palsu yang mereka sebarkan itu dilakukan hanya karena mereka tidak bisa berpikir dan memutuskan apakah konten itu bisa dipercaya atau tidak.
Baca juga: Konten Hoaks dan Disinformasi Ikut Menyebar Luas
Pada tes kedua, ketika orang diingatkan untuk mempertimbangkan akurasi konten yang akan disebarkan, tingkat kesadaran mereka naik lebih dari dua kali lipat. Dengan menggunakan pendekatan yang disebut intervensi dorongan akurasi (accuracy nudge intervention) ini, perusahaan media sosial mestinya bisa membatasi penyebaran informasi yang salah, palsu, dan bohong.
Berujung kematian
Informasi hoaks terbukti berujung kematian di banyak negara. Di Iran, misalnya, orang percaya saja pada informasi yang menyebutkan meminum metanol bisa menyembuhkan atau mencegah Covid-19. Akibatnya, 300 orang tewas dan tidak sedikit pula yang sakit.
Jason McKnight dari Department of Primary Care and Population Health di Texas A&M University menyebutkan, membagi informasi hoaks mengakibatkan dampak yang jauh lebih berbahaya ketimbang Covid-19 itu sendiri. Banyak informasi hoaks yang menyebutkan pengobatan atau pencegahan yang sama sekali belum terbukti kebenarannya.
”Ada informasi menyesatkan soal teknik mencegah terinfeksi dan infeksi karena belum terbukti. Bahkan, ada instruksi supaya orang-orang menimbun obat dan makanan,” kata McKnight.
Ada dua risiko sangat berbahaya jika menyebarkan informasi hoaks terkait Covid-19. Informasi itu akan bisa memicu dan menyebarluaskan rasa takut dan panik serta akan membuat orang berbuat sesuatu yang membahayakan diri dan orang lain. Seperti efek domino, orang lain pun akan melakukan hal yang sama.
Menyadari gentingnya persoalan ini, Facebook telah memasang peringatan aturan membagi informasi terkait Covid-19 ini di informasi utama. Mereka juga berusaha menghapus konten-konten yang dikhawatirkan berdampak negatif dengan bantuan pihak ketiga yang bertugas mengecek fakta.
Baca juga: Jagat Maya Menanggapi Korona
Pihak ketiga itu antara lain perusahaan-perusahaan media termasuk kantor berita AFP, Reuters, dan Associated Press, yang sudah bekerja sama dengan Facebook untuk membuat program pengecekan fakta.
Konten-konten hoaks diusulkan tidak akan bisa diakses orang dan jika ada yang berusaha mau membagikan informasi yang hoaks akan diberikan artikel yang menjelaskan kenapa informasi itu tidak akurat.
Namun, juru bicara Facebook tidak mau berkomentar tentang usulan penambahan peringatan akurasi itu di Facebook. Twitter pun demikian.
Baca juga: Bahaya Wabah Korona di Era Digital
Studi informasi hoaks tentang Covid-19 pernah dilakukan sebelumnya ketika informasi hoaks merajalela saat musim kampanye politik. Ketika itu upaya mengingatkan orang akan akurasi dari informasi yang mau dibagikan itu hanyalah upaya agar orang makin kritis sebelum menyebarkan.
Kini, kasus serupa berulang saat pandemi Covid-19. Namun, dampaknya sekarang jauh lebih berbahaya karena mempertaruhkan nyawa orang lain. Jadi, sebaiknya saring sebelum sharing kabar atau informasi apa pun terkait Covid-19. Nyawa orang lain bergantung pada itu. (AFP)
"Tentang" - Google Berita
March 30, 2020 at 11:02AM
https://ift.tt/3bC9HOw
Informasi Menyesatkan tentang Covid-19 Bisa Membunuh – Bebas Akses - kompas.id
"Tentang" - Google Berita
https://ift.tt/2pFrqlx
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Informasi Menyesatkan tentang Covid-19 Bisa Membunuh – Bebas Akses - kompas.id"
Post a Comment